Senin, 09 Januari 2012

Belajar Dan Pembelajaran

Hakikat Belajar Dan Pembelajaran

1. Belajar, Perkembangan, dan Pendidikan Belajar merupakan hal yang menarik dipelajari. Ketiga gejala tersebut terkait dengan pembelajaran. Belajar dilakukan oleh siswa secara individu. Perkembangan dialami dan dihayati pula oleh siswa secara individu. sedangkan pendidikan merupakan kegiatan interaksi, dalam interaksi tersebut, pendidik atau guru bertindak mendidik si peserta didik atau siswa. tindak mendidik tersebut menuju pada perkembangan siswa menjadi mandiri.
Syarat perkembangan mental:
- Pertumbuhan jasmani telah siap
- Individu belajar, baik atas dorongan sendiri dan lingkungan sekitar.

2. Ciri-Ciri Belajar dan Pembelajaran. Belajar merupakan tindakan dan prilaku siswa yang kompleks, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Belajar menurut pandangan Skinner yaitu belajar adalah suatu prilaku pada saat orang belajar maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun.

Di dalam belajar ditemukan adanya hal-hal berikut:
- Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon pembelajar
- Respon si Pembelajar
- Konsenkuensi yang bersifat menguatkan respun tersebut

3. Komponen Esensial Belajar dan Pembelajaran
  • Belajar merupakan interaksi antara keadaan internal dan proses kognitif siswa dengan stimulus dari lingkungan.
  • Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, motorik, sikap, dan siasat kognitif.
Tujuan Belajar Dan Pembelajaran

Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat di pandang dari dua subjek, yaitu siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar di alami sebagai suatu proses siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Dari segi guru, proses belajar tersebut dapat di amati secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat di amati tetapi dapat dipahami oleh guru.

Cerpen

SEORANG BOCAH PEREMPUAN

Sepasang kaki mungil tanpa alas, kurus, dan kumal, menapaki trotoar di tengah kota, terseok menelusuri sepanjang jalan, tanpa tujuan. Pemilik sepasang kaki mungil itu bukan siapa-siapa. Ia terlahir dari sebuah ketidakmengertian. Mengapa ia harus dilahirkan? Setidaknya begitu menurut kata hati bocah perempuan itu. Ia dibesarkan angin, dibuai debu, dan diselimuti sang malam yang hanya beratapkan langit.

Ketika perut bocah perempuan itu lapar dan minta diisi, kakinya berhenti di depan sebuah restoran. Di dalam etalase berjajar rapi makanan dengan aneka warna dan rasa yang menggoda. Perih hati bocah perempuan itu mengalahkan perihnya perut yang kian keroncongan. Betapa tidak, jarak makanan itu dengan jemarinya hanya beberapa jengkal. Namun jarak itu begitu jauh manakala ia menyadari ada banyak dinding penghalangnya. Dinding kaca yang tak mungkin dapat dipecahkan. Belum lagi dinding hukum Negara dan agama. Dan, ada dinding status sosial yang begitu tebal.

Si bocah menyadari, memang makanan itu bukanlah konsumsi bocah-bocah yang dibesarkan angin, dibuai debu, dan diselimuti malam. Hatinya masygul. Kemarahannya memuncak. Lalu dijilatinya makanan-makanan yang berada di atas rak dengan penuh nikmat. Selesai itu, yang di atas meja. Setelah itu giliran makanan yang ada di tangan para pengunjung, yang siap memasukkannya ke dalam mulut. Ia terus menjilati, walau hanya lewat pandangan mata yang sayu dan lapar. Kendati demikian, tetap saja para pengunjung merasa jijik. Mereka merasa jilatan itu bukan hanya lewat mata si bocah, tapi lidahnya yang sungguh-gungguh melakukannya.

Mereka menjerit melemparkan makanan-makanan itu sambil protes pada manajer dan petugas keamanan restoran. Sang manajer berusaha menenangkan suasana yang berubah gaduh. Seorang petugas keamanan yang kekar mencekal tangan mungil bocah itu dengan bengis. “Dasar anak gembel!!!” hardiknya sambil menghempaskan tubuh ringkih si bocah yang terpelanting ke belakang. Bibirnya meringis karena pantatnya menghantam ubin. “Pergi sana!!!” sambungnya lebih sengit, tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun atas penganiayaan yang telah dilakukannya.

Si bocah bangkit dan berlalu dari tempat itu. Tubuhnya terasa sakit namun hatinya puas, dia telah menjiati seluruh makanan yang ada di restoran itu. Sekali lagi, meski hanya lewat matanya. Dia berjalan gontai dan menyeret-nyeret kaki kirinya yang rupanya terkilir karena peristiwa barusan. Terbesit juga penyesalan dalam hati si gadis kecil. Ia telah membuat orang-orang tadi terasa terganggu oleh tatapan mata laparnya.

Malam belum begitu larut ketika bocah perempuan itu menyandarkan punggungnya yang kurus dan doyong pada sebuah dinding. Di sudut tembok sebuah gedung tua, ia merenungi untuk mencoba mengerti perjalanan sang nasib. Tetap saja pikirannya yang sederhana itu gagal mencermatinya, Karena sungguh memang itu adalah sebuah misteri.

Rasa lapar mengigiti dinding ususnya yang semakin kempis. Ditatapnya bintang-gemintang. Tubuhnya semakin lama, lemah, ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk tetap membuka mata yang terasa semakin berat. Ada sebuah spanduk iklan produk kembang gula yang terbentang pada sebuah toko yang telah tutup. Ia menatap seorang di spanduk itu, seorang bocah perempuan sebayanya, yang montok dan cukup gizi. Di tangannya tergenggam kembang gula rasa madu yang dilumuri sirup berwarna merah.

Lama ia menatap gambar bocah perempuan yang ada dalam kain spanduk iklan itu. Di sorot lampu ratusan watt, seolah gambar itu hidup. Senyumannya, senyuman yang manis mengembang. Dan si bocah perempuan kumal membalas senyuman itu. Meski dengan senyuman getir.

“Makanlah kawan, kamu pasti lapar…”

Si gadis kecil tak kuasa menolak. Namun ketika ia meraih kembang gula itu, tangannya tak dapat digerakkan lagi.

Si bocah dalam gambar cukup mengerti. Tak lama, ia memasukkan kembang gula itu ke dalam mulut si bocah perempuan. Semakin lama semakin cepat bocah dalam gambar itu memasukkan kembang gula ke dalam mulut mungil si bocah. Akhirnya ia tersedak. Kerongkongannya terasa sangat haus melebihi haus sebelumnya lidahnya yang kelu menjilati bibirnya mencari air. Sayang, bibirnya pun begitu kering.

Gambar bocah model itu tetap tersenyum dalam kain spanduk. Masih dengan kembang gula di tangannya. Sementara si bocah kumal, nafasnya tersengkal merasakan kekenyangan dalam lapar.

Malam telah menyebarkan gelapnya kepelosok kota ketika sang maut menjelma di hadapan bocah perempuan itu.

“Aku telah melihat keikhlasan mu menghadapi ku”

“Begitu? Tapi, tapi aku masih punya dosa…”

Sahut si bocah perempuan.

“Kapan kau melakukannya?”

“Tadi siang di sebuah restoran!”

“Bukankah hati mu telah menyesalinya?”

“Benar.”

“Semoga Allah mengampuni mu. Ucapkanlah kebesarannya.”

Meneteslah air mata bocah perempuan itu bagai permata. Kemudian ia menarik nafasnya yang terakhir. Tak seorang pun menemaninya kecuali kesunyian. Dan, dunia tidak akan pernah mencatat bahwa dia tidak pernah hidup.